2012/05/24

Untitled

Seorang dara menerawang bimbang.
Sulit menerka isi hatinya, namun terlihat jelas dia sedang dalam kebimbangan dalam.
Terlihat sangat tersiksa, tak memiliki sedikitpun lega.
Perasaan apa itu, yang terpancar dari matamu? Mengapa kau begitu tersiksa? Sedalam apa lubang bimbang dalam hatimu? Seperti apa rasanya? Lebih sesakkah dari yang aku rasakan ? Apa..kita sedang memandang pada kebimbangan yang sama? Aku..ingin tahu. Karena..mungkin aku sudah mengalami ini sejak lama.


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

2012/05/19

Senyuman Bulan

Aku: "Apa yang sedang kau lihat? Begitu menarik kah?

     |Kamu: "Huh? Aku tidak sedang melihat apapun."

Aku: "Bohong. Aku melihatmu daritadi"

     |Kamu: "Aku tak berbohong. Aku tidak sedang melihat apapun, tetapi aku sedang memandang sesuatu. Itu tidak menarik, namun mengagumkan."

Aku: "hah? Benarkah? Apa itu?"

     |Kamu: "Senyuman bulan. Lihatlah, bulan sedang tersenyum padaku. Bukan, pada kita!"

Aku: "Huh?"

     |Kamu: "Lihatlah, bertatap muka lah dengannya. Lihat senyumnya, sungguh cantik bukan?"

Aku menengadah menatap langit kelabu. Ada sesuatu yang terang seolah berkuasa di atas sana, dia lebih besar dari cahaya-cahaya lain di sekitarnya. Sangat cerah, cahayanya seperti senyuman hangat yang menenangkan hati. Bulan tersenyum. Lama ku pandangi, sepertinya aku terlarut dalam senyuman sang bulan. Cantik. Aku tak bisa menahan bibirku untuk ikut menampilkan lengkungan.

Aku: "Hah~ Bagaimana bisa? Ajaib.. Cantik."

     |Kamu: "Tentu saja, hanya bulan yang memiliki senyum secantik itu. Namun itu dulu, sepertinya bulan  telah menemui saingan terberatnya. Menurutku bulan akan kalah."

Aku: "Hah? Benarkah? Bagaimana bisa ada yang lebih cantik dari senyuman bulan? Sungguh beruntung pemilik senyum itu."

Aku masih belum bisa mengalihkan pandanganku dari sang bulan, aku masih tetap tersenyum pada bulan.

     |Kamu: "Aku juga berpikir begitu, hingga aku menemukan senyum cantik yang lain.Senyum ini.. Tidak sekedar cantik, senyum ini juga manis dan lembut, kau akan merasa ikut bahagia jika melihatnya. Kau tahu, saat ini aku merasa bahagia"

Aku: "Sungguh? Siapa dia? Pasti sangat istimewa. Aku juga ingin melihat senyum yang kau maksud."

     |Kamu: "Kau sungguh ingin melihatnya? Karena aku sedang melihat senyum itu sekarang."

Aku berpaling menatap kamu,"Tentu saja"

     |Kamu: "Maka lihatlah.."

Lalu kamu memberiku sebuah cermin.








Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

2012/05/16

Surga

Perih.
Lalu ada sesak dada yang tertahan.
Lama. Aku hanya bisa diam.

Rasanya hatiku selalu menderita akhir-akhir ini.
Rasa sakit ini seolah tak kenal kompromi.
Mengapa harus berturut? Mengapa tak datang setelah rasa sakit lamaku mulai membaik?
Mengapa??
Tak cukup ribuan mengapa kuutarakan, tak akan tukemui jawabnya.

Aku tersiksa.

Bahkan air mata sudah tak bermakna.

Lalu sunyi menghantui. Merajai aku, hatiku, perasaanku.

Bagaimana rasanya mati?
Apa itu bisa memberi ketenangan?
Pastikah akan ke surga?
Apa itu surga?
Adakah disana kebahagiaan?
Aku ingin ke surga.

Surga?
Maka aku harus mati dahulu.

Mati?
Jika aku mati begini, dengan caraku, akankah ada surga bagiku?

Namun aku terlalu sakit.
Mungkin mati lebih baik.





Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

2012/05/15

Belum Saatku Tersenyum

Sesaat aku terbawa emosi
Namun aku belum menyesali
Belum.
Mungkin nanti
Atau esok
Atau entah kapan saat hatiku terasa lebih lega.

Manusia lain tak akan paham
Walau sedikit paham, namun tak seperti makna paham yang kumaksudkan, mereka cuma sekedar mengerti.

Maka aku lebih memilih untuk berdiskusi dengan hatiku.
Aku yang paham akan aku dan perasaanku, maka aku diam pada manusia, berceloteh dalam pikirku sendiri.

Sesaat aku mengutuki kesal yang merasukiku, namun aku tak berdaya. Suntikan penyesak dada sudah mengaliri seluruh darahku, dan lakuku didayung kesalku.

Aku ingin kembali tersenyum, senyum indah yang seperti biasa ku pamerkan pada sang langit. Namun ini sudah terlalu larut, mungkin langit kekurangan cahaya untuk menyunari wajahku dan melihat senyumku.
Selain itu, aku belum ingin tersenyum.
Belum saatnya.

Aku masih belum bisa berdamai dengan aku, hatiku, pikirku, perasaanku, rasa kesalku.

Maka aku masih akan begini.






Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

DON'T READ!

Aku ingin memaki.
Aku sakit hati.
Kemana semua manusia ini pergi?
Hilang?
Bajingan!

Dimana mereka yang menyebut dirinya sahabat berada saat sahabatnya membutuhkannya?
Memakai kata sahabat untuk status saja?
Tak cukup memahami?
Anjing.

Ini batas maksimalku. Yes. I'm loose control.
No. Aku ingin hilang kendali, namun, ah..entahlah! Nilai dan norma munafik!

Saat ini. Detik ini. Aku cuma ingin memaki mengutuki. Kasar? Terserah. Nilai aku!
Manusia. Aku manusia.

Ini. Gerah otakku sudah ingin meledak.
Dadaku bahkan terlalu sesak menahannya.
Lalu apa? Aku ingin melampiaskan.

Argh. Anjing!

Aku sampai pada tahap menemukan kata terkasar dalam fantasi terliarku. Namun tak kuutarakan. Tak pantas.
Lagi, aku menahan perasaan.
Sesak. Tak ada lagi oksigen dalam paru-paruku.
Dadaku mau pecah.
Rasanya tak karuan.

Anjing!
Aku ingin menjadi seseorang yang seperti mereka, dengan mudahnya mencetuskan kata-kata kasar ungkapan perasaan.
Pasti lega.
Aku ingin memiliki kelegaan yang sama.
Perasaanku terlalu penuh, aku lelah menahannya.

Anjing!
Anjing? Cuma makian ini yang bisa keluar. Aku ingin merobek semua batas kesopanan!
Ingin meneriakkan semua makian cacian hinaan hati tingkat tertinggi!

Aku lelah.
Aku bosan.

Lalu aku bisa apa?
Dalam posisiku, aku tak bisa apa-apa.
Aku cuma bisa menangis.




Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

2012/05/12

Saat Senja Kelabu

Senja selalu saja cerah. Indah. Jingga. Mempesona.
Tapi kini jinggaku terselubung membran kelabu.
Kenapa? Aku benci keadaan ini.
Aku baru sadar, sekarang mendung.
Mendung? Ya..pasti karena mendung.

Kemudian aku berbalik, merenung dan bercermin.
Kenapa cermin ini pun kelabu?
Sungguh menggangu.

Hah.
Sekarang aku tahu.
Medung bukan di langit, namun di pelupuk mataku.
Terasa kabur.
Mataku. Kelabu. Mendung.
Tinggal tunggu sepersekian detik, mungkin medung berganti menjadi hujan.

2012/05/06

Senyumku, senyumnya

Aku takbisa berhenti tersenyum.
Kenapa?
(tersenyum lagi) Aku tahu jawabannya, hanya saja terlalu malu untuk diungkapkan.

Sepertinya aku telah menemui pujaan hatiku.
Aku memikirkannya berhari-hari.
Matanya. Hidungnya. Bibirnya. SENYUMNYA.

Kamu tahu gelombang hallyu?
(sungguh aku tak peduli kamu tahu atau tidak)
Ya. Saat ini aku sedang tergulung ombak gelombang hallyu.
Aku mahir berenang, aku bisa melepaskan diri dari gelombang itu.
Namun aku tidak mau, aku menyukainya. Bukan. Aku menikmatinya.

Teman-temanku tidak mengaguminya.
Mereka bilang dia tidak spesial.
Namun mereka tidak tahu rahasianya. Mereka belum pernah melihat senyumnya.
Walau begitu, aku tidak akan memberitahu mereka. Karena aku egois akan hal ini.
Aku ingin senyum itu hanya menjadi milikku.
Hanya aku yang dapat menikmatinya.

Bukan sosok biasa, karena tak mungkin sosok biasa mampu menggetarkan sendi-sendi hatiku.
Terlalu spesial. Terkenal. Mendunia. Bintang.

Aku siapa? Namun aku tak peduli.
Semua berawal dari mimpi bukan?
Ya. Aku percaya mimpi.
Aku gadis pemimpi.

Di suatu senja, aku akan berdiri menatap langit.
Mungkin dia juga.
Jarak yang jauh bukan berarti kita tidak bisa menatap langit yang sama bukan?
Mungkin disana jingga sudah merona kelabu, namun langit tetap disitu, tak pernah berpindah.

Seperti biasa, aku akan tersenyum pada langit.
Kali ini aku akan memamerkan senyum termanisku. Termanis. Ya, termanis.
Kamu tahu kenapa?
Aku sedang merayu langit, agar dia membantuku memantulkan senyumku kepada seseorang yang memandang langit yang sama denganku itu.
Lalu ia dapat tersenyum juga.

Ada senyumku, ada senyumnya.
Sempurna.



Cerita Hujan

Ini hujan.
Aku menunggu dia berhenti meneteskan kesedihannya.
Tetap hujan. Aku masih menunggu.

Langit tidak lagi secerah dalam ingatanku.
Bukan salah hujan. Mungkin langit dapat memahami hujan.
Tapi aku tidak.

Aku menatap langit dan hujan, lalu tersenyum.
Hujan masih belum tehibur dengan senyumanku.
Lalu aku memejamkan mata, mengarahkan wajahku lebih dekat ke hujan, dan tersenyum lebih lebar.
Aku yakin ini akan menghibur hujan.

Ini gerimis.
Setidaknya tidak lagi hujan, walaupun masih menetes sedikit kesedihan. Pasti hujan sudah sedikit terhibur.

Mungkin hujan itu pemalu yang tidak bisa menunjukkan pesaan senangnya, namun gerimis ini cukup menjadi tanda.

Aku menguji hujan.
Masihkah ingin keras kepala?

Lalu aku membuang payungku, berlari menantang hujan.
Hujan?



Ini masih gerimis. Namun langit begitu cerah.
Gerimis perlahan mereda.
Hahaha aku tertawa lega.

Aku tahu ini akan terjadi.
Hujan tidak mungkin menyakitiku.

Tidak ada lagi kesedihan hujan.
Matahari tesenyum.
Aku tertawa.
Ini sempurna.
Aku bahagia.


2012/05/04

Cinta Pertama

Cuma karena hati harus terisi,
dan rasa haruslah cinta,
maka kerapkali manusia berlari dan mencari, entah apa...


Cuma karena sepi diartikan mati,
dan luka tidak bolah ada,
maka manusia berpikir sudah menemukan, entah apa...

Padahal aku lelah.
Dan aku telah sampai diamana aku menolah dan menyadari,
aku tak pernah menemukan apa-apa...


Dan bahwa seumur hidupku,
aku hanya pura-pura bahagia.






(Cinta Pertama)



Belum Saatnya Senja

I never gone with the wind,
Just let it flow..
Ini belum senja.

Belum saatnya. Aku masih ingin memandang langit biru.

Aku tahu aku suka senja, namun tak adil bagi biru jika hanya jingga yang kukagumi. Maka aku memandang biru.

Aku jadi memandangi, aku mengagumi.

Aku mencoba memahami biru sebaik aku memahami jingga senjaku, namun aku tidak tahu.

Langit biru seolah penuh misteri, dia bahkan menyembunyikan arah. Tak seperti senja yang selalu mengarahkanku ke barat, langit biru membuatku buta arah. Namun aku menikmatinya. Aku seperti bebas, melayang dipeluk angin, merengkuha dunia yang selama ini tersembunyi.

Lama aku menikmati biru, lalu jinggaku mulai mengintip. Sungguh indah. Biru seperti menyambut jingga dan menampilkan tarian warna yang mempesona. Aku tersenyum.

Ini senja.

Sudah saatnya senja.

Aku masih disini, mengagumi jingga. Senja.

Aku tersenyum. Sepertinya senja mengagumi senyumanku.



Sebuah Lengkungan yang Kusebut Senyuman

Ini ceritaku dikala senja.
Gerimis.

 Aku termenung dibalik kaca mobil, teringat sesuatu,bukan..maksudku seseorang. Seseorang?bukan, aku bahkan tidak mengenalnya, aku hanya sekilas melihat, beberapa detik memandang, beberapa menit memperhatikan, namun berjam-jam memikirkan sesuatu akan dirinya. Jadi, mungkin lebih pantas jika dia disebut 'sesosok' daripada seseorang.

Sosok itu muncul di waktu yang tepat, ya..T.E.P.A.T. Seorang pria, mungkin belasan tahun, atau baru memasuki umur 20han, entahlah..aku tak tahun cara memperkirakan umur seseorangn lagipula itu tidak penting.
Saat itu aku sedang ..aku bahkan tidak mengingat apa yang sedang kulakukan saat itu rasanya semua energi dan memoriku tersedot habis olehnya. Mungkin saat itu aku sedang menunggu seseorang, di tengah suasana ramai, aku melihat banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Normal. Tidak ada yang spesial. Lalu dia muncul entah darimana berdiri tepat di seberangku, biasa saja. Orang asing yang seperti sedang menunggu seseorang. Ya, dia terlihat biasa saja hingga ada momen dimana dia  membentuk sebuah lengkungan kecil di bibirnya. Sungguh manis. Dan selanjutnya, aku takbisa menghentikan mataku untuk terus melihat lengkungan kecil itu. Rasanya lengkungan kecil itu sungguh pantas untuk selalu melengkung dan tidak kembali datar.

Semua berawal dari senyum manisnya yang kukagumi. Lalu dia yang biasa saja mulai terlihat sedikit berbeda, jadi lebih spesial. Namun aku tidak peduli dia siapa atau bagaimana, yang kutahu hanyalah, aku melihat sesuatu yang indah di lengkungan itu, seperti tersihir.
Lalu lengkungan itu kembali menjadi datar

Beberapa saat kemudian, lengkungan itu kembali muncul di bibirnya. Spertinya orang yang ditunggunya sudah datang. Aku sungguh iri pada orang itu, karena lengkungan itu ditujukan padanya. Lalu mereka pergi. Sosok itu pergi. Lengkungan indah pun berlalu. Namun, aku masih terpaku mengagumi.

Aku selalu mengagumi senyuman, merasa bahagia jika melihatnya. Namun, dia tetaplah sosok asing yang tidak ku kenal. Aku berharap dapat melihat lengkungan yang sama indahnya seperti yang dia miliki, tidak harus dari dirinya, aku berharap melihatnya dari orang lain. Mungkin dari seseorang yang kukenal, sehingga aku bisa melihat lengkungan indah sepuas hatiku, tanpa takut harus kehilangan.


 
 
Copyright © Cerita Senja, Langit, dan Senyuman
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com